Sudah lama aku tak menulis. Mungkin hampir setengah tahun. Ya, benar hampir enam bulan! Aduh, bukan waktu yang sebentar, lho! Lama benar, bukan? Buat seseorang yang rajin menulis, 30 hari kali 6 bulan itu bisa jadi tenggat waktu menyelesaikan kumpulan cerpennya. Seratus delapan puluh hari tentu amat cukup untuk membuat beberapa buah cerita pendek.
Sering aku berpikir dan merasa kalau aku tak memiliki apa-apa untuk dituliskan. Sering juga aku cemas apakah apa yang ada dalam pikiran ini layak aku tuangkan dalam deretan-deretan huruf. Seringnya aku juga membuang dan melewatkan begitu saja apa yang terlintas dalam benak. Sering pula aku berdebat sendiri apa aku pantas menuliskannya atau tidak. Tak jarang aku berpikir pemikiranku terlalu enteng untuk diketahui orang lain bahkan untuk aku gali sendiri.
Kerap aku merasa malu dan tidak berdaya menghadapi papan tombol huruf komputer. Aku melemah kalau disuguhi sebuah bolpen dan secarik kertas. Aku bingung harus menulis apa. Aku tidak tahu mesti menuliskan apa. Aku ragu akan menuliskan sesuatu. Jadinya semua itu membuatku menghentikan langkah pertama menulis.
Konflik-konflik “dalam negeri” itulah yang membuat aku malas, enggan, khawatir, dan ragu untuk mulai menyusun kata perkata. Karenanya aku justru malah berkesimpulan aku tidak memiliki apa-apa untuk kutuliskan. Aku mengecap aku tak akan bisa menulis sekali pun. Aku malah berani menyimpulkan aku tak layak menulis. Keberanian yang keliru, kawan. Sungguh. Padahal, tidak akan pernah mungkin kalau seseorang itu (sedang) tak memiliki apa-apa untuk dituliskan.
Kawan percaya atas apa yang aku nyatakan barusan, kalau seseorang selalu memiliki pemikiran dan perasaan untuk diubah menjadi kisah menarik? Sebaiknya dan memang benar jika kawan memercayai pernyataan itu. Mengapa? Karena pada saat kita menegaskan sedang tak punya apa-apa, sebenarnya kita sedang memiliki apa-apa.
Lalu, apa apa-apa itu yang membuat kita justru memiliki apa-apa tatkala kita berpikir dan merasa tak memiliki apa-apa? Sederhana sekali, apa-apa itu adalah perasaan atau pemikiran (sedang) tidak memiliki apa-apa!
Itulah kekayaan terbesarku untuk menulis. Lho, apa iya? Iya, benar. Kuakui dengan berani—sebagai tebusan keberanian keliru yang telah kubuat—kalau aku cuma memiliki apa yang tidak aku miliki. Aku hanya punya apa-apa yang membuat aku merasa tak punya apa-apa. Aku sekadar punya kekosongan. Kehampaan. Titik nol.
Heran, bukan? Apalagi kawan, aku saja yang menuliskannya heran mengapa saat aku merasa tak memiliki apa-apa untuk menulis, kok justru malah punya apa-apa untuk kutuliskan. Ternyata di balik kekosongan itu selalu ada sesuatu yang cukup untuk dituliskan. Sesuatu dari kekosongan itu adalah: kekosongan itu sendiri!
Sekarang pun, aku hanya menulis tentang kekosongan. Tak lebih dari itu. Coba saja kembali ke atas. Baca lagi dari awal. Pertanyakan apa yang ditonjolkan lewat tulisan ini. Semua hanya: kekosongan belaka!
Benar, tidak? Ah, jawabanya cukup simpan saja dalam diri kawan. Tak usah memberi tahu jawabannya karena jelas aku sudah mengantongi jawaban itu. Kemungkinan besar jawaban kita sama, kawan. Bahkan, lebih besar dari dugaan kawan sekarang. Tidak percaya? Sebaiknya percaya saja. Kalau tidak, kawan sendiri yang akan menanggung malu akibat tidak percaya.
Beberapa orang pernah bertanya kepadaku, “Kok kamu bisa sih menulis?” Sebuah pertanyaan yang setingkat dengan pertanyaan kepada seseorang mengapa dia bisa berenang atau menjahit, misalnya. Katanya, entah kata siapa, kemampuan dan keterampilan seseorang itu dipengaruhi pembawaan atau bakatnya. Aku rasa itu tidak salah. Entah dalam hal lain, keterampilan menulis memang dipengaruhi bakat, namun sekaligus juga ditentukan oleh proses berlatih.
Jadi, bukan sekadar karena pengaruh bakat, melainkan yang lebih utama adalah proses belajarnya. Berlatih dan berlatih. Tak perlu merasa tidak berbakat, yang penting kawan terus berlatih menulis. Seperti aku ini. Ya, walaupun apa yang ditulis itu cuma berupa kekosongan tadi. Tapi, tak mengapa karena dari kekosongan itu pun akan muncul ide yang sebelumnya dianggap enteng, namun setelah dikemas dalam bentuk aksara, sungguh ide itu akan cepat berubah menjadi kisah mengagumkan. Tak percaya? Coba saja! Niscaya kawan akan terperangah akan tulisan karya sendiri. Tak perlu tergesa ingin dinikmati orang, cukup kita saja yang menikmati hasil jerih payah itu.
Tulis saja apa yang ingin ditulis, kawan. Bukan apa yang harus ditulis. Sekali lagi bukan yang harus kawan tulis, melainkan yang ingin kawan tulis. Keharusan itu yang membuatku dulu agak sulit memulai menulis. Keharusan itu yang membuat jemari kaku mencoretkan kisah sederhana sekalipun.
Sekarang bebaskan pikiran kawan dari keterpaksaan. Tak perlu gelisah jika kawan hanya memiliki kekosongan seperti yang aku alami saat hendak mengukir kata. Lewat kekosongan sekalipun, siapa pun akan mampu membuahkan karya kecil yang bermakna besar. [ynh—19/12]
Tuesday, December 19, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)