Sunday, January 14, 2007

Bisa

Beberapa kawan pernah bertanya kepadaku mengapa aku bisa menulis. Pertanyaan yang amat biasa dilontarkan seseorang yang merasa takjub atas sesuatu. Wajar-wajar saja diajukan. Hanya saja pertanyaan semacam ini sebenarnya terasa aneh dan sulit, sekaligus juga membanggakan dan menyedihkan!

Dulu aku pernah mengajukan pertanyaan hampir persis dengan pertanyaan yang ditujukan kepadaku itu. Seorang kawan begitu mahir menggambar. Sampai-sampai si gambar seperti dijiplak saja. Padahal, gambar itu asli buatannya.

“Hebat! Bagus banget!” ujarku ketika itu.

“Oh, begitu, ya? Terima kasih” timpal kawanku.

“Iya, beneran. Kamu kok bisa sih menggambar kayak gitu sampai mirip aslinya?” tanyaku kepada kawanku si jago gambar.

Wajar saja kalau aku bertanya seperti itu. Siapa saja yang merasa kagum akan cenderung bertanya mengapa seseorang bisa melakukan sesuatu yang dirasa tidak bisa dilakukannya. Persis seperti aku waktu itu. Jadi, wajar buatku bertanya kepada si kawan walaupun si kawan mungkin merasa aneh atas pertanyaan itu. Buat dia, tentu saja hal itu bisa dilakukannya karena dia cuma punya satu jawaban: tentu aku bisa!

Selain aneh, bisa jadi pertanyaanku dulu itu sulit dijawab. Mungkin kebisaannya muncul begitu saja tanpa disadari atau direncanakan. Atau, kehebatannya justru dimunculkan dengan kerja keras. Saat itu si kawan tampak kebingungan menjawab pertanyaanku. Aku pikir itu pertanyaan yang gampang. Tapi, si kawan malah gelagapan menjawabnya.

Dia sudah sejak lama senang menggambar. Hampir setiap ada waktu luang dia habiskan untuk menggambar. Bahkan, waktu dia masih menjadi anak SD, beberapa kali dia mengikuti lomba menggambar dan memenanginya. Orangtuanya pun kerap meminta dia berlatih menggambar dengan ulet. Sepertinya orangtua kawanku itu melihat bakat dan upaya keras anaknya lewat menggambar.

Mungkin terasa sulit buat seseorang untuk menjelaskan kemampuannya dalam suatu bidang. Sebab, itu berarti dia harus menceritakan awal proses kemunculan kemampuannya. Bisa saja kemampuannya itu tidak pernah dia sadari tengah bertumbuh kembang. Tiba-tiba saja dia sudah mahir dan pandai melakukan sesuatu. Saat kesadarannya muncul, dia mulai mengolah potensinya menjadi sesuatu yang membedakan dengan orang lain.

Sekarang, apa yang dialami kawanku tadi karena pertanyaan yang kuajukan, kurasakan. Aku rasa memang aneh pertanyaan ini, ya, karena tentu aku bisa menulis. Entah dari mana asalnya kemampuanku dalam menulis. Mungkin berasal dari kegemaranku membaca, mengamati penggunaan bahasa di media massa atau buku atau apa pun salurannya, mendengarkan orang berbicara, melamun, dan mengarang (dulu, semasa SD aku senang diberi tugas mengarang cerita atau mengerjakan soal cerita matematika meski jawabannya salah karena aku tak pandai berhitung!).

Cuma, kalau kita pikirkan, kawan, pertanyaan semisal itu sebenarnya sebuah pertanyaan yang membuat kita patut berbangga atas kemampuan yang dimiliki. Coba saja pertanyakan lagi kepada diri kita sendiri mengapa orang bertanya seperti itu. Ya, tentu karena orang tersebut merasa tidak mampu melakukan apa yang bisa kita lakukan. Dengan kata lain, kemampuan kita dipandang sebagai kemampuan yang eksklusif!

Menulis dipandangnya sebagai sebuah keterampilan yang hanya dimiliki orang-orang tertentu yang (katanya) berbakat. Menulis dianggap sebagai keahlian yang dipunyai mereka yang memiliki intelektual tinggi. Menulis juga diposisikan sebagai kegiatan yang tidak boleh dilakukan sembarang orang.

Dalam konteks individual, tentu cara pandang eksklusif itu adalah suatu yang membanggakan buat orang-orang yang mahir menulis. Apa pun jenis tulisannya. Pandangan itulah yang menjadikan seseorang merasa bangga atas torehan penanya. Sah-sah saja kawan yang pandai menulis ingin memelihara cara pandang tersebut untuk mempertahankan siapa dirinya lewat kemampuan menulis.

Namun, sayang sekali kalau orang selamanya berpandangan seperti itu. Kalau menulis dianggap aktivitas yang eksklusif, orang yang menulis bakal itu-itu saja. Tak ada variasi tulisan. Tak ada keragaman ide. Sedih, bukan!

Jadi, saatnya sekarang aku dan kamu, kawan, berlatih terus menulis. Apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan tuangkan saja dalam beberapa kalimat dahulu. Biar semua jadi kebiasaan dulu. Jangan khawatir, bakat itu bukan yang utama. Kalau merasa tidak berbakat menulis, kawan mesti lewat jalan lain yaitu dengan giat menulis. Orang yang berbakat menulis akan kawan salip dengan sering berlatih menulis.

Sebuah tulisan yang bagus mampu mengubah sesuatu. Orang, masyarakat, bahkan dunia. Sudah banyak bukti yang muncul. Mein Kampf, misalnya. Buku itu yang menggerakkan bangsa Arya Jerman untuk mencaplok negara lain bahkan berniat menguasai dunia. Atau, buku yang menjadi best-seller bahkan sudah habis sebelum dicetak, Change!, buah pikiran Rhenald Kasali.

Tapi, yang penting kawan, jangan terburu ingin menjadi besar. Hal yang paling penting adalah bagaimana tulisan yang dibuat bisa mengubah diri kita sendiri. Nilai yang utama adalah menjadikan tulisan memiliki bisa yang bisa membuat pikiran tersengat sehingga diri tersadar akan kehebatan tulisan buah karya kita. Tak perlu ragu memproduksi bisa lewat tulisan. Cipratkan terus bisa tulisan kita hingga menyengat siapa saja yang membacanya! [ynh—15/01]